Khusus bauksit hingga 2021, Indonesia lewat Provinsi Kalimantan Barat tercatat menduduki peringkat keenam di dunia sebagai negara yang memiliki cadangan bauksit terbesar.
Karena itu, berdasarkan data Booklet Bauksit 2020 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dilansir Suara Pemred dan juga dari CNBC, Indonesia memiliki sumber 'harta karun' berupa bauksit yang cukup besar.
Mengolah data United States Geological Survey (USGS) pada Januari 2020, dilaporkan bahwa jumlah cadangan bauksit Indonesia mencapai 1,2 miliar ton, atau empat persen dari cadangan bijih bauksit dunia yang sebesar 30,39 miliar ton.
USGS sendiri adalah sebuah agensi ilmiah Pemerintah AS. Menurut catatan Suara Pemred, USGS memiliki empat disiplin ilmu utama, yakni biologi, geografi, geologi, dan udara. USGS adalah organisasi riset pencari fakta yang tidak memiliki kekuasaan untuk mengatur.
Didirikan pada 3 Maret 1879, Direktur USGS pada 2009 adalah Marcia McNutt, dan USGS adalah bagian dari Departemen Dalam Negeri AS, yang merupakan satu-satunya badan keilmuan di departemen tersebut. USGS mencakup sekitar 8.670 pegawai, dan berkantor pusat di Reston, Virginia, AS.
Selain itu, USGS memiliki kantor di Lakewood, Colorado, Denver Federal Center, dan Menlo Park, California. Motto USGS adalah 'ilmu pengetahuan untuk sebuah dunia yang berubah', dan juga menjalankan 17 pusat riset di AS, termasuk Patuxent Wildlife Research Center.
Cadangan Bauksit Indonesia 1,7 Miliar Ton
Masih menurut data USGS, adapun pemilik cadangan bijih bauksit terbesar di dunia yakni Guinea, yang mencapai 24 persen disusul Australia yang menguasai 20 persen, Vietnam 12 persen, Brazil sebanyak sembilan persen, disusul peringkat kelima adalah Jamaika dengan tujuh persen.
Berdasarkan data Kementerian ESDM ini, jumlah sumber daya bijih terukur bauksit di Indonesia mencapai 1,7 miliar ton, dan logam bauksit 640 juta ton, sementara cadangan terbukti untuk bijih bauksit 821 juta ton, dan logam bauksit 299 juta ton.
Booklet Bauksit 2020 melaporkan, Indonesia memiliki cadangan bauksit nomor enam terbesar di dunia, yang artinya bahwa Indonesia berperan penting dalam penyediaan bahan baku bauksit dunia.
Hanya saja besarnya 'harta karun' bauksit Indonesia itu belum dimanfaatkan secara optimal. Bahkan, Indonesia masih mengimpor logam aluminium sebanyak 748 ribu ton setiap tahun.
Padahal, Indonesia tidak perlu mengimpor aluminium, jika dibangun smelter bauksit menjadi alumina hingga aluminium.
Alumina sendiri merupakan produk olahan dari smelter bauksit, dan merupakan bahan baku yang bisa diolah lagi menjadi aluminium. Aluminium memiliki manfaat dan nilai tambah besar, yang bisa digunakan untuk bahan baku bangunan dan konstruksi, peralatan mesin, transportasi, kelistrikan, kemasan, barang tahan lama, dan lainnya.
Hasilkan Rp 1.000 Triilun untuk Negara
Jika Indonesia memiliki industri aluminium terintegrasi dari hulu atau tambang bauksit, lalu smelter alumina, dan smelter aluminium, maka bukan tak mungkin target penerimaan negara Rp 1.000 triliun dari sektor industri pertambangan, bisa terwujud.
Adapun kebutuhan impor logam aluminium sebesar 748 ribu ton per tahun adalah untuk memenuhi kebutuhan logam aluminium nasional.
Jumlahnya mencapai satu juta ton, sebagaimana data pada 2020, yang disampaikan oleh Direktur Pembinaan Program Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara di Kementerian ESDM, Sunindyo Suryo.
Produksi aluminium PT Inalum (Persero) saat ini dilaporkan sebesar 250.000 ton per tahun, sehingga masih kurang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pada 2020, kebutuhan nasional logam aluminium mencapai satu juta ton.
Dengan kapasitas produksi PT Inalum pda 2021 yang sebesar 250.000 ton per tahun, maka terdapat kekurangan sekitar 748 ribu ton logam aluminium yang diimpor, sebagaimana CNBC, Jumat, 1 Oktober 2021.
Masih kurangnya pasokan logam aluminium di dalam negeri ini, artinya Indonesia perlu kembali menambah smelter aluminium baru.
Dengan demikian, permintaan logam aluminium di dalam negeri bisa sepenuhnya dipasok dari negeri sendiri. "Kebutuhan smelter baru dengan kapasitas 3 x 250 ribu ton aluminium per tahun memerlukan biaya investasi sekitar satu sampai dua miliar dolar AS," kata Sunindyo Suryo.
Ditambahkan, penguasaan teknologi dalam industri aluminium harus diupayakan secara bertahap. Misalnya, membentuk suatu perusahaan domestik. Perusahaan ini bisa menangani jasa teknik, pengadaan barang, dan konstruksi (Engineering, Procurement and Construction/ EPC) di bidang pembangunan fasilitas pengolahan-pemurnian alumina dan smelter aluminium.
Target Presiden Joko Widodo
Presiden Joko Widodo sendiri mengakui, hilirisasi industri nikel ini sudah berhasil, sehingga kelak hilirisasi juga akan dilakukan pada komoditas lainnya, seperti bauksit, emas, tembaga, hingga minyak sawit. Karena iru, menurut Joko Widodo, tak hanya nikel saja.
"Ke depan, kita juga akan mulai untuk bauksitnya, mulai emasnya, tembaganya, hilirisasi sawitnya, sebanyak mungkin turunan-turunan dari bahan mentah itu bisa jadi minimal barang setengah jadi. Syukur-syukur bisa jadi barang jadi," paparnya.
Hilirisasi industri juga disebutnya merupakan salah satu dari tiga strategi besar ekonomi negara di masa depan. Dua strategi besar lainnya, yakni digitalisasi UMKM. dan ekonomi hijau.
"Ke depan, strategi besar ekonomi kita, strategi besar ekonomi negara, ada tiga hal yang ingin saya sampaikan. Pertama, hilirisasi industri; kedua. digitalisasi UMKM, dan ketiga, kita harus mulai masuk ke ekonomi hijau," tambahnya.
Sementara itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif menyatakan, total smelter yang beroperasi ditargetkan sebanyak 23 dari 19 smelter pada 2020. "Total realisasi fasilitas pemurnian mineral sampai dengan 2020 sebanyak 19 smelter, dan 2021 sebanyak 23 smelter," katanya saat konferensi pers bertajuk Capaian Kinerja Sektor ESDM Tahun 2020 dan Rencana Kerja Tahun 2021, Kamis, 7 Januari 2021.
Peleburan (smelting) sendiri adalah proses reduksi bijih sehingga menjadi logam unsur, yang dapat digunakan berbagai macam zat, seperti karbid, hidrogen, logam aktif, atau dengan cara elektrolisis. Pemilihan zat peredusi ini, tergantung dari kereaktifan masing-masing zat.
Makin aktif logam makin sukar direduksi, sehingga diperlukan pereduksi yang lebih kuat. Logam yang kurang aktif, sepeeti tembaga dan emas, dapat direduksi hanya dengan pemanasan. Logam dengan kereaktifan sedang, seperti besi, nikel dan timah, dapat direduksi dengan karbon, sedangkan logam aktif seperti magnesium dan almuinium, dapat direduksi dengan elektrolisis.
Kerap, proses peleburan ini ditambah dengan fluks, yakni suatu bahan yang mengikat pengotor dan membentuk zat yang mudah mencair.
Berdasarkan data Kementrian ESDM terbaru, smelter baru yang beroperasi pada 2020 hanya dua smelter, yakni smelter nikel. Dengan demikian, total smelter nikel yang beroperasi hingga 2020, mencapai 13 smelter.
Sementara smelter untuk komoditas lainnya, yakni tembaga, tetap tidak berubah dari tahun sebelumnya: Hanya dua smelter, bauksit dua smelter, besi satu smelter, dan mangan satu smelter.
Dengan demikian, terdapat 19 smelter yang telah beroperasi pada 2020, sedangkan pada 2021, dari total target 23 smelter beroperasi, di antaranya 16 smelter nikel, dua smelter tembaga, dua smelter bauksit, satu smelter besi, satu smelter mangan, dan satu smelter timbal dan seng.
Sampai dengan 2024 mendatang, pemerintah menargetkan sebanyak 53 smelter beroperasi. Artinya, dibutuhkan 34 smelter baru selama empat tahun mendatang.
Jumlah smelter tersebut yang ditargetkan beroperasi hingga 2024, antara lain 23 smelter pada 2021, kemudian naik menjadi 28 smelter pada 2022, lalu pada 2023-2024 diperkirakan melesat menjadi 53 smelter.
Pada 2024, smelter yang ditargetkan telah beroperasi, yakni empat smelter tembaga, 30 smelter nikel, 11 smelter bauksit, empat smelter besi, dua smelter mangan, serta dua smelter timbal dan seng.
Sementara kebutuhan investasi untuk membangun 53 smelter sampai dengan 2024, mencapai 21,59 miliar dolar AS. Rincian investasinya: Smelter nikel sebesar delapan miliar dolar AS; Bauksit 8,64 miliar dolar AS; Besi 193,9 juta dolar AS; Tembaga 4,69 miliar dolar AS, Mangan 23,9 juta dolar AS; Timbal dan seng 28,8 juta dolar AS.
Pandemi Covid-19 mengakibatkan sejumlah proyek pembangunan smelter tertunda. Tak hanya proyek smelter katoda tembaga yang dibangun PT Freeport Indonesia, puluhan smelter mineral lainnya juga disebut tertunda, bahkan terhenti proses pembangunannya akibat pandemi tersebut.
Pada 10 November 2020, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif dalam sebuah diskusi tentang pertambangan, menyatakan bahwa tertundanya pembangunan smelter karena suplai bahan baku dan tenaga kerja terhenti. Pasalnya, sejumlah negara pemasok teknologi smelter, juga melakukan penguncian wilayah (lockdown), yang membatasi mobilitas karyawan.
"Progress pembangunan smelter sedang banyak yang berhenti karena suplai bahan baku dan tenaga kerja juga berhenti karena negara yang punya teknologi ini sedang lockdown," ungkapnya dalam sebuah diskusi bertema Prospek Sektor Tambang di Tengah Ketidakpastian Ekonomi Global secara virtual.
Investasi Smelter Bauksit China di Kalbar
Dilansir Suara Pemred dari China Dialogue, 11 Februari 2021, terlepas dari berhentinya ekpsor bauksit Indonesia ke China sejak 2014, program Presiden Xi Jinping, yakni Belt and Road Initiative, telah mendorong beberapa investasi China di industri pemurnian bauksit di Kalimantan Barat.
Dengan campuran investasi dari BUMN pertambangan penambanga Indonesia yakni PT Aneka Tambang (Antam), perusahaan swasta domestik, dan beberapa perusahaan China, enam kilang sedang dibangun atau diperluas, termasuk tiga di sepanjang Sungai Kapuas dekat Meranggau dan Meliau Hulu.
Konstruksi tersebut, bagaimanapun, sedang berlangsung pada tingkat yang lebih lambat dari perkiraan. Well Harvest Mining, yang dimiliki oleh Harita Group yang berbasis di Indonesia, dan sudah menjalankan kilang, menggandakan kapasitas penyulingannya dalam kemitraan dengan Hongqiao Group China, produsen aluminium terkemuka di dunia.
Juga, Borneo Alumina Indonesia berencana membangun kilang dengan dukungan dari Antam dan China Aluminium International Engineering Corporation.
Di sisi ekstraksi, sebagian besar penambang bauksit di Kalbar adalah orang Indonesia.
Namun, menurut catatan publik Pemerintah Indonesia, masih menurut laporan China Dialogue, sebuah perusahaan yang berbasis di Hong Kong -PT Mineral Makmur Sejahtera- memiliki semua tujuh tambang milik asing, yang mencakup lebih dari 10 persen lahan yang diberikan ke perusahaan bauksit di Kalbar.
Kilang, yang mencuci dan menghancurkan bijih bauksit untuk melarutkan alumina, membutuhkan banyak energi. Yang baru telah dijanjikan listrik hanya dari pembangkit listrik tenaga batu bara atau diesel, menurut pernyataan publik dan dokumen pemerintah.
Masih dilansir dari China Dialogue, kurang dari satu dekade lalu, sebagian besar bauksit Indonesia diekspor ke China, yang sejauh ini merupakan produsen aluminium terbesar di dunia.
Sejak awal 2000-an, lonjakan permintaan dari China menyebabkan ledakan pertambangan di Kalbar yang menyimpan deposit bauksit terbesar di Indonesia.
Tapi, ekspor ini berhenti pada 2014, ketika Pemerintah Indonesia melarang ekspor bijih mentahnya.
Kebijakan tersebut merupakan upaya untuk mengembangkan industri lokal. UU ini mendorong perusahaan-perusahaan yang berbasis di Indonesia untuk mengolah bijih menjadi alumina sebelum diekspor (alumina adalah bubuk putih yang dilebur untuk menghasilkan aluminium, dan bernilai setidaknya 10 kali bauksit mentah).
Tetapi, banyak perusahaan pertambangan tidak dapat menemukan kilang lokal untuk membeli bijih sehingga dan harus ditutup.
Masih dari China Dialogue, Gubernur Kalbar Sutarmidji baru-baru ini mengakui, 260 tambang terbuka milik berbagai perusahaan, dibiarkan terbengkalai setelah ditutup.***
Sumber: China Dialogue, CNBC, Kontan, Malaysian Journal for Medical Sciences, data tahun 2020 dari United States Geological Survey (USGSW), Wikipedia, berbagai sumber
Komentar
Posting Komentar